Tingkat Kejadian Stres Pada Remaja
dengan
Pola Asuh Orang Tua
2.1.1. Definisi Stres
Pada awal mulanya stres berasal dari istilah yang dipakai dalam
ilmu metalurgi, dimana lempengan logam yang menahan beban timbangan dinamakan
stres. Dikemudian hari kata stres ini diadopsi oleh dunia medis ketika
seseorang yang mengalami gangguan syaraf, dikatakan dalam kondisi stres
(Effendi, 2006). Sarafino (2008) mengartikan stres adalah kondisi yang
disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan
persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang
bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Senada
dengan Sarafino, Santrock (2003) mendefinisikan stres adalah respon individu
terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stresor), yang mengancam dan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya atau coping. Lain halnya
dengan pendapat Hans Selye (Hawari, 2001) menyatakan bahwa stres adalah respon
tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya.
Sedangkan Safaria dan Rahardi (2004) mendefinisikan stres adalah keseluruhan
proses yang meliputi stimulasi, kejadian, peristiwa dan respons, interpretasi
individu yang menyebabkan timbulnya ketegangan yang di luar kemampuan individu
untuk mengatasinya.
Dari pengertian-pengertian yang telah diungkapkan diatas, maka
peneliti mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap kejadian, peristiwa,
dan stimulasi yang mengancam dan mengganggu seseorang akibat tuntutan beban
yang dialami seseorang dan individu tidak bisa menanganinya karena diluar
kemampuannya.
2.1.2. Jenis Stres
Orang menggunakan kata stres untuk mengungkapkan pengalaman yang
menyedihkan, mengecewakan, menyakitkan, dan ketakutan yang ada dalam dirinya.
Tetapi pada kenyataannya ada 2 jenis stres yang terdapat pada diri manusia,
yaitu eustres dan distres (Safaria dan Rahardi, 2004). Kedua jenis stres
tersebut adalah :
1.
Eustres
Eustres adalah stres ini menimbulkan tegangan dalam hidup,
tetapi dampak yang ditimbulkan menyenangkan dan diimpikan semua orang. Contoh
stres ini adalah wawancara kerja, promosi kenaikan jabatan, seleksi pekerjaan.
Stres ini dikatakan positif karena ketegangan yang dialami individu akan
membuahkan hasil yang bermanfaat jika sudah tercapai.
1.
Distres
Distres muncul ketika seseorang membenci pekerjaannya,
mengeluhkan berbagai tekanan hidup, dan seseorang merasa tidak berdaya dalam
menjalani kehidupan (Covey, 2005). Contoh stres ini adalah di PHK dari
pekerjaan, kehilangan orang yang dicintai, sakit keras, dirampok, dan
sebagainya.
Kedua jenis stres ini jika tidak dikelola dengan baik dan
terlalu berlebihan maka akan menimbulkan dampak yang negative, seperti sakit
jantung, stroke, sakit maag, migrain, kelelahan, dan kejenuhan (Safaria dan
Rahardi, 2004).
2.1.3. Dampak yang
Ditimbulkan Akibat Stres
Sarafino (2008) menjabarkan tentang 2 aspek utama dari dampak
yang ditimbulkan akibat stres yang terjadi pada manusia, yaitu :
1.
Aspek Biologis
Ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang
mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi
tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan
produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh.
2.
Aspek Psikologis
Ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang
mengalami stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala emosi,
dan gejala tingkah laku.
1.
Gejala kognisi
Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan
suatu hal), perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak
fokus dalam melakukan suatu hal, merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek
gejala kognisi
1.
Gejala emosi
Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu,
merasa sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala
emosi
1.
Gejala tingkah laku
Tingkah laku negative yang muncul ketika seseorang mengalami
stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan orang lain dan
mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena dia tidak bisa
mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka
melakukan penundaan pekerjaan.
2.1.4. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Stres
Gunawati, Hartati, dan Listiara (2006) menjelaskan tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada mahasiswa yang sedang menyusun
skripsi. Ada 6 faktor yang mempengaruhi stres mahasiswa, yaitu :
1.
Faktor internal mahasiswa
2.
Jenis kelamin
Penelitian yang dilakukan di Amerika menyatakan bahwa wanita
cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan pria. Secara
umum wanitamengalami stres 30% lebih tinggi daripada pria.
2.
Status sosial ekonomi
Seseorang yang mempunyai status sosial ekonomi menengah kebawah
cenderung memiliki tingkat stres yang tinggi. Kesulitan ekonomi yang terjadi
pada status sosial ekonomi menengah kebawah menyebabkan tekanan dalam hidup
3.
Karakteristik kepribadian
mahasiswa
Karakteristik kepribadian mahasiswa yang berbeda-beda
menyebabkan adanya perbedaan reaksi terhadap sumber stres yang sama. Mahasiswa
yang mempunyai ketabahan lebih tinggi akan berdampak terhadap daya tahan mereka
terhadap stres daripada mahasiswa yang mempunyai ketabahan lebih rendah
4.
Strategi koping mahasiswa
Strategi koping merupakan rangkaian respon yang melibatkan
unsur-unsur pemikiran untuk mengatasi permasalahan sehari-hari dan sumber stres
yang menyangkut tuntutan dan ancaman yang berasal dari lingkungan sekitar.
Strategi koping yang digunakan oleh mahasiswa yang sedang menyusun skripsi
dalam menghadapi stres, berpengaruh pada tingkat stresnya. Ditambahkan oleh
Lazarus dan Folkman (dalam Utomo, 2008) ada 2 bentuk koping stres yang dapat
dipakai oleh mahasiswa, yaitu emotional focused coping adalah usaha untuk mengatur respon emosional terhadap stres
dengan merubah cara dalam merasakan permasalahan atau situasi dan problem focused
coping adalah usaha untuk
mengurangi atau menghilangkan stres dengan mempelajari cara-cara atau
ketrampilan-ketrampilan baru untuk memodifikasi permasalahan yang mendatangkan
stres yang mendatangkan stres.
5.
Suku dan kebudayaan
Stuart dan Sundeen (1991) mencoba menjelaskan bahwa kebudayaan
mempengaruhi terhadap gangguan psikis seseorang. Karena setiap suku memiliki
metode penyelesaian masalah yang berbeda.
6.
Intelegensi
Setiap orang mempunyai kemampuan intelegensi yang berbeda-beda.
Seorang mahasiswa yang mempunyai kemampuan intelegensi yang lebih tinggi
cenderung lebih tahan terhadap sumber stres karena tingkat intelegensi mempengaruhi
penyesuaian diri seseorang di lingkungan. Mahasiswa yang mempunyai tingkat
intelegensi yang lebih tinggi cenderung lebih adaptif dalam menyesuaikan diri.
1.
Faktor eksternal
mahasiswa
2.
Tuntutan tugas akademik
(skripsi)
Seorang mahasiswa yang menganggap skripsi merupakan beban bagi
dirinya dan dia berpikir bahwa tugas tersebut tidak sesuai dengan kemampuan
yang ada dalam dirinya, maka mahasiswa tersebut cenderung mengalami stres
2.
Hubungan mahasiswa dengan
lingkungan sosialnya
Hubungan mahahsiswa dengan lingkungan sosialnya meliputi
dukungan sosial yang diterima dari orang tua, teman, dan para dosen. Dukungan
sosial mempengaruhi motivasi mahasiswa dalam menyusun skripsi dan dukungan
sosial juga dapat mengurangi stres individual yang terjadi pada mahasiswa.
2.1.5. Klasifikasi dan
Pengertian Tingkat Stres
Saat muncul keadaan eksternal yang tidak diharapkan, maka
seseorang dapat menilai apakah kejadian tersebut membuat seseorang dapat atau
tidak menimbulkan stres. Pertama seseorang mendeteksi suatu kejadian yang
berpotensial menyebabkan stres. Peristiwa tersebut dibagi menjadi tiga keadaan,
yaitu: positif, netral, dan negative. Jika seseorang menilai peristiwa tersebut negative maka dicari kemungkinan adanya harm, threat, atau challenge. Lalu, seseorang menilai kemampuannya untuk melakukan coping
terhadap situasi yang dihadapi dan sumber daya yang dimiliki, serta individu
menilai apakah dia cukup mampu menghadapi harm, threat, dan challenge dalam peristiwa yang terjadi. Peristiwa-peristiwa tersebut kemudian
akan berdampak pada aspek fisik dan aspek psikologis seseorang.
Sarafino (2008) mengklasifikasikan 3 tingkatan stres, yaitu:
1. Stres tingkat rendah, terjadi ketika
seseorang dengan kemampuan lebih dari cukup untuk menghadapi situasi yang
sulit, maka seseorang akan merasakan sedikit stres dan merasa tidak memiliki
tantangan
2. Stres tingkat sedang, terjadi ketika
seseorang merasa cukup mungkin akan kemampuannya untuk menghadapi suatu
kejadian tetapi dia harus berusaha keras, maka seseorang akan merasakan
perasaan stres dengan tingkatan menengah atau sedang. Pada tahap ini, seseorang
masih bisa beradaptasi terhadap stresor yang dihadapi (Sarafino, 2008)
3. Stres tingkat tinggi, terjadi ketika
seseorang merasakan bahwa kemampuannya mungkin tidak akan mencukupi pada saat
berurusan dengan stresor dari dalam diri dan lingkungannya, maka akibatnya
seseorang akan mengalami perasaan stres yang besar.
2.2. Prokrastinasi
Akademik
2.2.1. Definisi Prokrastinasi
Akademik
Istilah prokrastinasi pada awalnya berasal dari bahasa Latin,
yaitu procrastination, dengan awalan “pro” yang berarti “mendorong
maju” dan “crastinus” yang berarti “keputusan
hari esok.” Jika “pro” dan “crastinus” digabungkan artinya adalah menunda sampai keesokan harinya.
Orang yang suka melakukan prokrastinasi disebut procrastinator (Ferrari, 1995)
Menurut Ferrari et.al (1995) pengertian prokrastinasi dapat
dipandang dari berbagai sudut pandang antara lain, yaitu:
1.
Prokrastinasi adalah
setiap perbuatan untuk menunda mengerjakan tugas tanpa mempermasalahkan tujuan
dan alasan penundaan
2.
Prokrastinasi sebagai
suatu pola perilaku (kebiasaan) yang mengarah kepada trait, penundaan yang dilakukan sudah merupakan respon yang menetap
seseorang dalam menghadapi tugas dan biasaanya disertai dengan keyakinan yang
irrasional
3.
Prokrastinasi sebagai
suatu trait kepribadian, tidak hanya perilaku menunda tetapi melibatkan
struktur mental yang saling terkait.
Fiore (2006, dalam Catrunada, 2008) menjelaskan secara
etimologis prokrastinasi adalah suatu mekanisme untuk mengatasi kecemasan yang
berhubungan dengan bagaimana cara memulai atau melengkapi suatu pekerjaan dan
dalam hal membuat keputusan. Lain halnya menurut Lay prokrastinasi mengacu pada
kecenderungan irasional untuk menunda tugas yang harus diselesaikan (1986,
dalam Jackson, dkk, 2003).
Ferrari menjelaskan prokrastinasi akademik adalah jenis
penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan dengan tugas
akademik, seperti tugas kuliah (Ferrari et al., 1995)
Pengertian prokrastinasi akademik menurut Tuckman (2002) adalah
“Academic procrastination is regarded as a dispositional trait
that could particularly have some consequences on students whose lives are
characterized by frequent deadlines.”
Penulis mencoba mengartikan ke dalam bahasa Indonesia pengertian
dari Tuckman yaitu:
“Prokrastinasi akademik dipandang sebagai suatu watak yang
terutama bisa memiliki konsekuensi pada siswa yang hidupnya terbiasa atau
terkarakter dengan banyak tenggat waktu.”
Menurut Ferrari, dkk. (1995), prokrastinasi akademik banyak
berakibat negatif, dengan melakukan penundaan, banyak waktu yang terbuang
dengan sia-sia. Penundaan dalam akademik lebih banyak pada tugas yang bersifat
formal, seperti mengerjakan makalah atau skripsi.
Dari pengertian-pengertian diatas maka peneliti dapat
mengartikan prokrastinasi akademik adalah penundaan kegiatan akademik dengan
melakukan aktivitas lain yang tidak berguna sehingga pekerjaan penting tidak
selesai tepat pada waktunya, membuang waktu secara sia-sia, dan digunakan untuk
mengatasi kecemasan sesaat.
2.2.2. Ciri-Ciri Orang yang
Melakukan Prokrastinasi
Bernard (1991) menjelaskan ciri-ciri individu yang mempunyai
kecendrungan untuk berprokrastinasi. Bernard menyebut ciri-ciri ini dengan
kepribadian prokrastinator atau procrastinator personality, tetapi kecendrungan-kecendrungan ini bukan merupakan gambaran
kepribadian yang secara utuh, yaitu :
1.
Neurotism / high anxiety
Sisi negative individu untuk melakukan tindakan yang mengancam
individu dalam menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan, seperti konflik,
rasa frustasi, ancaman fisik maupun psikis, dan tekanan dari luar yang berada
di luar kemampuan individu.
2.
Depression / low self-esteem
Seseorang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah menilai
dirinya sendiri tidak mampu untuk mendapatkan sesuatu hal yang baik dalam
hidupnya dan mudah menyerah dalam menghadapi masalah
3.
Rebellious
Pola asuh yang otoratif mempengaruhi kecendrungan berperilaku
seseorang. Hal ini banyak ditemukan pada remaja. Remaja yang menjadi
pemberontak cenderung mengabaikan tugas meskipun mereka mengetahui
konsekuensinya jika tidak mengerjakan tugas itu.
4.
Pessimistic / internal
Seseorang yang pesimis mempunyai kecendrungan untuk menunda
tugas. Seseorang yang pesimis belum tentu mengarah ke depresi, namun mereka
mempunyai kecendrungan untuk menunda tugas penting. Jika mereka mampu
mengerjakan sesuatu dengan baik, mereka akan berpikir bahwa hal tersebut
terjadi karena faktor dari luar diri mereka
5.
Irrational beliefs
Kepercayaan yang irasional, bersifat negative, seperti tidak
pantas untuk berhasil, kepercayaan diri yang rendah, kecemasan yang tinggi
membuat seseorang mempercayai jika dia berhasil maka dia akan dijauhi oleh
teman-temannya.
6.
Lack of achievement motivation
Motivasi berprestasi terdiri dari 3 dimensi, yaitu kebutuhan
untuk memperoleh pengetahuan dan memecahkan masalah akademis, dan prestasi
dipandang sebagai pemenuhan ego, prestasi dapat membuat seseorang cepat
mendapatkan pekerjaan. Kurangnya motivasi berprestasi dapat membuat seseorang
mengalami kegagalan untuk menyelesaikan tugasnya.
7.
Poor self-control / impulsiveness
Individu dapat menjadi frustasi karena kurangnya kontrol diri
untuk mengendalikan insting dan dorongan alamiahnya
8.
Disorganization
Kesulitan untuk menjadi seseorang yang teratur. Ketidakteraturan
dan kecemasaan yang timbul bersamaan adalah ciri seseorang untuk menjadi
procrastinator.
2.2.3. Faktor-faktor
Prokastinasi Akademik
Steel (2007) menyebutkan ada 8 faktor yang dapat mempengaruhi
seseorang melakukan prokrastinasi. Faktor-faktor tersebut adalah :
1.
Keengganan untuk segera
mengerjakan tugas
Mahasiswa tidak segera mengerjakan tugas karena melakukan
penghindaran diri. Mahasiswa mempunyai kemampuan untuk mengerjakan tugas
tersebut tetapi dia tidak segera mengerjakannya karena mahasiswa menyadari
adanya ancaman dari tugas tersebut. Hal ini dikarenakan pemberian insentif dan reward yang tidak sebanding. Seperti mengeluarkan biaya yang besar dan
banyak menyita waktu untuk mengerjakan tugas tersebut.
2.
Khawatir akan mendapat
kegagalan
Mahasiswa melakukan prokrastinasi karena mereka kurang mempunyai
kepercayaan diri. Mereka ragu akan tugas yang dikerjakan tidak maksimal dan
tidak sesuai dengan hasil yang mereka inginkan. Hal ini diperkuat oleh Ferrari (dalam
Neville, 2007) bahwa mahasiswa sangat peduli dengan apa yang orang lain
pikirkan tentang mereka, mereka lebih suka orang lain berpikir bahwa mereka
tidak memiliki usaha daripada kemampuan.
3.
Depresi atau suasana hati
yang kurang baik
Faktor ini berhubungan dengan “mood” atau di beberapa kasus
depresi merupakan kondisi yang serius. Mahasiswa menunggu mereka mempunyai mood yang baik untuk mengerjakan tugas. Jika mood mereka sedang tidak baik, maka penundaan pekerjaan akan mereka
lakukan
4.
Memberontak
Mahasiswa menjadi prokrastinator karena mereka merasa tugas yang
diberikan tidak adil, terlalu banyak untuk dikerjakan dalam satu waktu, dan
mahasiswa merasa tugas tersebut tidak penting untuk dikerjakan sehingga mereka
malas untuk mengerjakannya.
5.
Impulsiveness and distraction
Blatt dan Quinn mengatakan orang-orang yang impulsive lebih menyukai prokrastinasi. Mereka cenderung lebih sibuk pada
keadaan yang sedang terjadi daripada keadaan masa depan. Perhatian mereka mudah
sekali beralih pada kejadian yang terjadi di sekitar mereka daripada tugas yang
sedang mereka kerjakan.
6.
Waktu pengerjaan tugas
Waktu merupakan salah satu pengaruh yang bisa menimbulkan dampak
munculnya prokastinasi. Misalnya pada saat seorang mahasiswa melakukan
perjalanan liburan, sementara ada tugas yg harus dikerjakan mereka cenderung
menundanya. Hal itu karena adanya kebiasaan dimana saat liburan mereka tidak
harus mengerjakan tugas apapun, sementara ketika mereka masuk kuliah dan
mendapat tugas, mereka menjadi cenderung santai dan menyepelekan adanya deadline tugas tersebut.
7.
Faktor-faktor lingkungan
Dalam penelitian yang dilakukan Onwuegbuzie and Jiao dikatakan
bahwa lingkungan akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam melakukan
prokrastinasi. Contohnya lingkungan yang kotor dan lingkungan yang berisik
dapat mempengaruhi keinginan seseorang dalam melakukan kegiatan belajar. Jika
mereka merasa tidak nyaman dengan lingkungannya maka timbul kecendrungan untuk
menunda kegiatannya.
8.
Suka bekerja dibawah
tekanan
Steel (2007) menemukan beberapa mahasiswa sangat senang bekerja
dibawah tekanan. Mahasiswa merasa lebih bisa mengeluarkan ide dan dapat bekerja
dengan lebih baik jika sudah berada dekat pada waktu deadline. Tetapi walaupun mereka suka bekerja dibawah tekanan, hasil yang
mereka peroleh tidak optimal.
2.2.4. Indikator
Prokrastinasi Akademik
Ferrari, dkk. (1995) menjelaskan bahwa perilaku prokrastinasi
akademis dapat dimanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat dikur dan
diamati dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1.
Penundaan untuk memulai
maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang dihadapi. Prokastinator mengetahui
bahwa tugas yang harus dikerjakan sangat penting tetapi ia menunda pekerjaan
tersebut sampai batas akhir waktu yang diberikan karena ia merasa tugas yang
diberikan sudah dikerjakan pada sebelumnya, sehingga prokastinator menunda
pekerjaan atau tugas tersebut dan tidak menyelesaikannya sampai tuntas
2.
Keterlambatan dalam
mengerjakan tugas. Prokastinator membutuhkan waktu yang lebih lama dalam
pengerjaan tugas yang diberikan. Mereka tidak memperhitungkan waktu yang
diberikan, sehingga mereka banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak
penting untuk dilakukan.
3.
Kesenjangan waktu antara
rencana dan kinerja aktual. Seseorang biasanya membuat perencanaan waktu dalam
menyelesaikan pengerjaan tugas atau pekerjaan. Akan tetapi jika tiba pada saat
yang ditentukan, mereka tidak mengikuti perencanaan yang sudah dibuat. Sehingga
mereka menjadi seorang prokastinator dan sulit menyelesaikan pekerjaannya pada
saat waktu yang ditentukan. Seorang prokastinator juga sering mengalami
kesulitan menyelesaikan tugas pada batas tenggat waktu yang diberikan.
2.2.5. Bentuk-bentuk
Prokrastinasi Akademik
Menurut Ferrari, et al (1995) membagi bentuk-bentuk
prokrastinasi menjadi 2 bagian, yaitu :
1.
Functional procrastination atau prokrastinasi fungsional
Prokrastinasi fungsional berarti seseorang melakukan penundaan
menyelesaikan tugas karena mempunyai tujuan untuk memperoleh informasi yang
lengkap dan akurat. Contohnya adalah mahasiswa melakukan perpanjangan waktu
skripsi karena ingin mendapatkan nilai terbaik.
1.
Dysfunctional procrastination atau prokrastinasi
disfungsional
Prokrastinasi disfungsional berarti seseorang melakukan
penundaan menyelesaikan tugas yang merupakan prioritas tinggi tanpa didasari oleh
alasan yang berarti. Contohnya adalah mahasiswa melakukan penundaan
penyelesaian tugas karena mereka berpikir menonton televisi lebih penting
daripada menyelesaikan tugas.
2.3. Teori
Subjek Penelitian
2.3.1. Pengertian Mahasiswa
Menurut UU Pendidikan Nasional no: 23/2003, pengertian mahasiswa
adalah siswa atau peserta didik pada perguruan tinggi atau pada pendidikan
tinggi. Daldiyono (2009) menjelaskan ada 3 karakteristik mahasiswa, yaitu :
1.
Lulusan dari Sekolah
Menengah Atas
2.
Telah menjalani
pendidikan selama 12 tahun
3.
Umur mahasiswa berkisar
16 tahun – 24 tahun
2.3.2. Mahasiswa Universitas
Bina Nusantara
Mahasiswa Universitas Bina Nusantara program sarjana adalah
mahasiswa tingkat akhir yang sedang melakukan program studi Strata-1 untuk
meraih gelar sarjana. Mahasiswa Universitas Bina Nusantara harus menjalani
studi selama 3,5 tahun sampai 5 tahun untuk meraih gelar sarjana. Mahasiswa
Universitas Bina Nusantara yang sedang menjalani skripsi berkisar antara umur
21 tahun sampai 25 tahun.
2.3.3. Masa Dewasa Awal
Hurlock (2004) mendefinisikan masa dewasa awal adalah masa
dimana individu yang telah menyelesaikanpertumbuhannya dan siap menerima
kedudukan yang ada dalam masyarakat bersamaan dengan individu dewasa lainnya.
Masa dewasa awal (early aduthood) biasanya dimulai pada akhir usia belasa atau permulaan usia
20-an dan berlangsung sampai usia 30-an (Santrock, 2003). Masa ini merupakan
waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi. Ada sebuah penelitian
yang mengatakan lebih dari 70% mahasiswa mengatakan bahwa menjadi dewasa berani
menerima tanggung jawab atas akibat dari tindakan sendiri, menentukan nilai dan
keyakinan sendiri, dan membentuk hubungan dengan orangtua sebagai sesama orng
dewasa (Arnet, 1995, dalam Santrock, 2003). Jahja (2011) menambahkan bahwa masa
dewasa awal dikatakan sebagai masa yang sulit bagi individu karena pada masa
ini seseorang dituntut untuk melepaskan ketergantungannya terhadap orang tua
dan berusaha untuk dapat menjadi mandiri.
Ada beberapa ciri-ciri masa dewasa awal menurut Hurlock (2004),
yaitu :
1.
Masa usia reproduktif
Dinamakan sebagai masa produktif karena pada rentang usia ini
adalah masa-masa yang cocok untuk menentukan pasangan hidup, menikah, dan
berproduksi/menghasilkan anak. Pada masa ini organ reproduksi sangat produktif
dalam menghasilkan individu baru (anak).
2.
Masa bermasalah
Masa dewasa dikatakan sebagai masa yang sulit dan bermasalah.
Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan penyesuaian dengan peran barunya
(perkawinan VS pekerjaan). Jika ia tidak bisa mengatasinya maka akan
menimbulkan masalah. Ada 3 faktor yang membuat masa ini begitu rumit yaitu; Pertama, individu tersebut kurang siap dalam menghadapi babak baru bagi
dirinya dan tidak bisa menyesuaikan dengan babak/peran baru tersebut. Kedua, karena kurang persiapan maka ia kaget dengan 2 peran/lebih yang
harus diembannya secara serempak. Ketiga, ia tidak memperoleh bantuan dari orang tua atau siapapun dalam
menyelesaikan masalah.
3.
Masa keterasingan Sosial
Masa dewasa dini adalah masa dimana seseorang mengalami “krisis
isolasi”, ia terisolasi atau terasingkan dari kelompok sosial. Kegiatan sosial
dibatasi karena berbagai tekanan pekerjaan dan keluarga. Hubungan dengan
teman-teman sebaya juga menjadi renggang. Keterasingan diintensifkan dengan
adanya semangat bersaing dan hasrat untuk maju dalam berkarir.
4.
Masa komitmen
Pada masa ini juga setiap individu mulai sadar akan pentingnya
sebuah komitmen. Ia mulai membentuk pola hidup, tanggungjawab, dan komitmen baru.
5.
Masa perubahan nilai
Nilai yang dimiliki seseorang ketika ia berada pada masa dewasa
dini berubah karena pengalaman dan hubungan sosialnya semakin meluas. Nilai
sudah mulai dipandang dengan kaca mata orang dewasa. Nilai-nilai yang berubah
ini dapat meningkatkan kesadaran positif. Alasan kenapa seseorang berubah
nilia-nilainya dalam kehidupan karena agar dapat diterima oleh kelompoknya
yaitu dengan cara mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati. Pada masa ini
juga seseorang akan lebih menerima/berpedoman pada nilai konvensional dalam hal
keyakinan. Egosentrisme akan berubah menjadi sosial ketika ia sudah menikah.
6.
Masa penyesuaian diri
dengan hidup baru
Ketika seseorang sudah mencapai masa dewasa berarti ia harus
lebih bertanggungjawab karena pada masa ini ia sudah mempunyai peran ganda
(peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja).
Untuk lulus dari perguruan tinggi, mahasiswa Universitas Bina
Nusantara diwajibkan untuk membuat suatu penelitian atau yang biasa disebut
dengan skripsi. Semua mahasiswa ingin lulus tepat waktu, tetapi hampir semua
dari mereka mengalami kesulitan pada saat pengerjaan skripsi. Oleh karena itu,
penulis melakukan wawancara kepada tiga wisudawan dan tujuh mahasiswa dari
Universitas Bina Nusantara tentang hal-hal yang mempengaruhi pengerjaan skripsi
mereka. Banyak dari mereka yang mengalami kesulitan untuk menuangkan ide
kedalam tulisan, menentukan judul skripsi, menyusun skripsi dan memperbaikinya
sesuai dengan standart yang ditetapkan. Di samping itu, mereka cemas untuk menghadapi
sidang sehingga timbul perasaan perasaan tertekan, khawatir, dan ketakutan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian memicu stres pada mahasiswa Universitas Bina
Nusantara yang sedang mengerjakan skripsi.
Sarafino (2008) membagi 2 aspek utama dari dampak yang
ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis.
Kedua aspek tersebut saling mempengaruhi dan tidak dapat dilepaskan. Aspek
biologis adalah aspek yang mempengaruhi kondisi tubuh kita sehingga kondisi
tubuh menjadi menurun pada saat kita sedang mendapat stres. Aspek psikologis
dibagi menjadi 3, yaitu gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku.
Aspek psikologis adalah gejala kognisi, emosi, dan tingkah laku yang
mempengaruhi kondisi psikis kita dan ketika dalam keadaan stres, salah satu
dari gejala yang ada dapat menurun dan mempengaruhi gejala yang lainnya.
Kondisi ini mengakibatkan seseorang menjadi sakit secara fisik maupun mental.
Keadaan-keadaan yang timbul diatas dapat secara langsung maupun
tidak langsung berpengaruh dalam pengerjaan skripsi karena saat stres tubuh
individu akan mengaktifkan respon melawan dan menghindar yang akibatnya
individu akan mengeluarkan banyak energi yang dapat menyebabkan keletihan baik
secara mental maupun fisik dan biasanya keadaan ini akan ditandai dengan adanya
penurunan produktivitas, sulit berkonsentrasi, rentang perhatian yang
berkurang, kemampuan individu untuk mengingat informasi menjadi sangat terbatas
dan pengambilan keputusan yang terpengaruh (Somerville, 2003). Sehingga jika
mereka terus-menerus mengeluarkan banyak energi, stres yang mereka rasakan pun
bertambah. Pada dasarnya sifat stres adalah tidak menyenangkan sehingga stres
dihindari oleh semua orang. Jika seseorang terus memaksakan target yang terlalu
tinggi tanpa istirahat maka tingkat stres seseorang akan semakin tinggi.
Nooreza (2011) mengatakan bahwa stres yang terus-menerus
dipaksakan akan bertambah buruk dalam pengerjaan skripsi dan berdampak menjadi
penundaan atau yang disebut prokrastinasi. Dalam menghadapi stres, mahasiswa
cenderung melakukan tindakan lain untuk menghilangkan tekanan stres yang
muncul. Pada awalnya, mereka berusaha untuk melakukan tindakan relaksasi
seperti istirahat sejenak, namun tindakan ini berlanjut sehingga mereka lupa
akan tujuan awal mereka. Penundaan dikatakan sebagai prokrastinasi apabila
penundaan tersebut dilakukan pada tugas yang dianggap penting, dilakukan
berulang-ulang secara sengaja, dan menimbulkan perasaan tidak nyaman secara
subyektif yang dirasakan oleh individu yang melakukannya (Solomon dan Rothblum,
dalam Ghufron, 2003). Sehingga tindakan yang mereka lakukan ini dinamakan
prokrastinasi.
Ferrari et al. (1995)mendefinisikan prokrastinasi akademik
adalah jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan
dengan tugas akademik, seperti tugas kuliah. Steel (2007) menjelaskan bahwa
prokrastinasi terjadi jika rendahnya kesadaran dan ketertarikan mahasiswa dalam
mengerjakan tugasnya. Akibat dari rendahnya kesadaran tersebut maka muncul niat
untuk menunda pengerjaan skripsi. Selain itu, keterlambatan dalam menyelesaikan
tugas berpengaruh terhadap prokrastinasi akademik. Ditambah pula dengan
kesenjangan waktu yang direncanakan dengan kinerja aktual yang dilakukan
membuat seseorang menjadi stres, sehingga mahasiswa mencari aktivitas lain yang
lebih menyenangkan daripada mengerjakan skripsi. Akibat dari tindakan tersebut,
maka mahasiswa melakukan prokrastinasi akademik.
Untuk mendukung penelitian prokrastinasi yang dilakukan, penulis
melakukan pengamatan pada mahasiswa yang mengambil skripsi pada semester lalu
dan pada hasil yang didapat, masih banyak mahasiswa Universitas Bina Nusantara
menyerahkan skripsinya dengan terburu-buru mendekati waktu deadline dan jumlah
mahasiswa yang memperpanjang waktu pengerjaan skripsi di semester selanjutnya
semakin meningkat. Disamping itu, penulis mewawancarai tiga wisudawan dan
tujuhmahasiswa Universitas Bina Nusantara dimana menurut mereka, mereka
cenderung memiliki kecemasan dalam diri yang menyebabkan mereka mengulur-ulur
waktu untuk mengerjakan skripsi. Mereka juga lebih mementingkan kegiatan lain
yang mereka anggap menyenangkan seperti jalan-jalan daripada mengerjakan
skripsi. Kegiatan tersebut awalnya hanya untuk menghilangkan kejenuhan mereka
dalam membuat skripsi tetapi setelah melakukan kegiatan menyenangkan tersebut,
mereka menjadi cenderung tidak fokus untuk mengerjakan skripsi. Hal ini membuat
proses pengerjaan skripsi menjadi tertunda lantaran mereka berpikir bahwa
pengerjaan skripsi bisa dilakukan di lain waktu.
By: Yuliana Putri Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar